Powered By Blogger

Cerpen

Sabtu, 10 Desember 2011

Teka-teki Cinta April
oleh
Numa Yunita


Aku duduk termenung di depan pintu malam ini.  Mencoba menatap langit lewat sela-sela jeda rumahku. Tak ada satupun yang kucari dan kutemui di sana, langit begitu gelap tanpa taburan bintang, bulan pun  enggan menampakkan dirinya. Hanya taburan  gumpalan awan-awan hitam pekat yang tak beraturan  yang berserakan di sana. Aku tahu, langit tak butuh waktu lama lagi untuk menderaikan tangisnya sama seperti yang kurasa saat ini. Mencoba menahan
tansssssgis dan tekanan bathin yang telah lama terpendam di dasar hati. Aku tak tahu cara merumuskannya dalam kata, hanya butir-butir air mata yang mampu kuuraikan. Aku memeluk lututku erar-erat dan membenamkan kepalaku di sana. Aku tak tahu cara membunuh rasa ini, rasa yang kata orang adalah anugrah terindah yang diberikan Tuhan pada mahluk sempurna ciptaannya. Dan inilah yang kurasa siksa cinta dalam hati yang bertahun-tahun tak pernah terungkap dan tetap terpendam  yang diberikan Tuhan untukku. Bertahun-tahun aku mencoba menghilangkannya dengan keyakinan  yang mendalam bahwa tak ada yang kekal di dunia ini begitu pun dengan rasa cinta ini. Namun, semakin besar keyakinan yang menjalar di hatiku, rasa ini pun semakin sulit untuk kuhilangkan. Aku mengangkat kepalaku perlahan, mencoba menatap langit kembali tapi yang adamkini hanyalah butir-butir tangis langit yang jatuh berderai. Aku menengadahkan wajahku di sana, membiarkan butir-butir hujan menerpannya. Butir-butir itu terasa lembut dan sejuk menyentuh wajahku hingga rasa sejuknya merayapi relung-relung hatiku yang hampa  dan tersiksa. Aku merasa nyaman dan ringan kini. Aku bangkit dan merapikan pakaianku yang kusut karena cara dudukku yang tak rapi. Aku menutup pintu dan berniat masuk ke kamar untuk istrahat. Aku berjalan perlahan ke sana melewati ruang tengah yang penuh dengan pernak-pernik yang sudah tak asing lagi bagiku, tampak tante dan omku disana, mereka sedang asyik menonton. Aku melewati mereka dengan tidak berniat untuk menggubris mereka sedikitpun.
“April.” Tante memanggilku.
Aku menoleh dengan refleks dan membalas panggilannya,”Iya.”
“Tadi Ibumu menelpon,” katanya. Aku kaget mendengarnya dan langsung berbalik arah dan duduk di sampingnya.
 Tak biasanya ibu menelponku, aku bahkan menganggap ibu benar-benar telah melupakanku dan telah menganggapku tiada. Selama ini aku tinggal bersama tante dan omku sejak aku belum mengenal apapun. Aku hanya sekedar dilahirkan oleh ibu dan dibiarkan begitu saja tanpa pernah dirawat olehnya . Aku tahu perasaan ibu sebenarnya, aku tak pernah menyalahkannya sedikit pun dan aku bersyukur ia mengizinkanku ada di dunia ini. Dari tanteku, aku tahu semua hal tentang ibu. Dulu saat aku berada dalam kandungannya, ia sangat menyayangiku dan membangga-banggakanku. Ia begitu bahagia saat mengetahui dirinya berhasil mengandungkan diriku setelah selang beberapa hari kematian ayah. Ia merawatku dengan penuh kasih sayang dan hampir setiap hari memeriksakan kandungannya ke dokter. Ia merasa akulah yang akan menjadi bidadari pertama dalam hidupnya. Sejak meninggalnya ayah karena penyakit tumor yang ia miliki sejak dini, ibu mencurahkan semua perhatiannya padaku. Ia bahkan berjanji untuk tetap hidup berdua denganku nanti dan selamaya. Ia berharap aku akan terlahir dengan rupa bidadari dan hati malaikat. Ia begitu sangat menyayangiku dan hampir setiap saat mengelusku lewat dinding kandungannya. Bulan berganti bulan hingga tibalah saatnya aku terlahir ke dunia. Ibu berjuang dengan keras saat melahirksnku dan betapa leganya ia saat  merasa telah berhasil mengantarku ke dunia. Ia mencoba menoleh dan menatapku lewat dekapan tante, namun betapa murkanya ia saat  melihat rupaku tak seperti yang diharapkannya. Wajahku hampir tak berbentuk, indra penciumanku pun tak sesempurna indra manusia pada umumnya, bentuk bibirku pun tak ubahnya indra penciumanku, hanya indra penglihatanku sajalah yang sedikit normal. Ibu shok dan langsung ingin membuangku, ia mengutukku dan mengatakan kalau ia tak pernah melahirkan anak sepertiku. Melihat sikap ibuku yang seperti itu, tanteku tak tega membiarkanku sendiri. Ia mengambilku dan merawatku dengan penuh kasih sayang. Sejak saat itu aku tinggal bersamanya dan mengetahui semua kisah hidupku darinya. Hampir setiap hari ia mengingatkan betapa beruntungnya ia dan ibuku yang telah merawat dan melahirkan gadis berhati malaikat sepertiku, ia mengatakan ibuku sangat menyayangiku melebihi kasih sayangnya padaku walaupun ia tak pernah sekalipun melihatku dari jarak dekat.
“Ril, kamu kenapa?” Tanteku memandangku sambil memegang bahuku.
“Oh, tidak Tante, April tidak apa-apa.” Jawabku dengan sedikit terkejut.
‘Tadi Ibumu menelepon, dia menanyakan keadaanmu, katanya dia merasa sangat bersalah sama kamu.’ Jelasnya tanpa kutanya.
“Ibu bilang begitu, Tante?” Tanyaku dengan gembira.
“Ya, dia juga bilang akan kesini,” jawabnya dengan senyum lebar. Tante tidak pernah membohongimu Ril, Ibumu itu sangat sayang sama kamu.” Aku menganguk dengan senyum lebar dan berjalan menuju kamar.
 Malam ini benar-benar malam mukjizat buatku. Salah satu doaku akhirnya di kabulkan, ibuku kembali menganggapku anaknya walaupun sebenarnya kutahu selama ini ia selalu memperhatikanku dari jarak jauh. Seburuk apapun rupaku namun, aku masih memiliki satu harapannya di dalam diriku, berhati malaikat. Hanya itu yang kumiliki kini. Aku tahu seburuk apapun rupaku, itu tak akan menjadi masalah bagi orang-orang yang menyayangiku tapi aku tak yakin dengannya. Ia begitu sempurna, begitu berbeda denganku yang aku dengannya bagaikan bumi dan langi. Aku membersihkan diriku dan mengganti pakaianku dengan baju tidur kesayanganku. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang empuknya tak melebihi springbed milik orang-orang kaya setelah menyiapkan semua perlengkapan kuliahku besok. Aku mencoba menutup mata dan menghilangkan bayang-bayangnya dari pikiranku. Aku merasa muak dan malu pada diriku saat aku tak bisa membuat diriku terbebas dari bayang-bayangnya. Sudah bertahun-tahun sejak kelas tiga menengah pertaama aku tak pernah bertemu dengannya  lagi tapi bayangan wujudnya masih sangat jelas dan tersimpan dengan baik di memoriku. Kenangan saat melihatnya tersenyum dan menyapa teman-temannya walaupun aku tak pernah sekalipun disapa olehnya. Ia bahkan mungkin  beranggapan tak pernah memiliki teman kelas sepertiku. Aku sadar, karena aku tahu bukan hanya dirinya yang beranggapan seperti itu. Teman-teman cewek sekelasku pun tak pernah henti-hentinya mengejekku dengan berpura-pura muntah saat dengan tidak sengaja menatapku. Aku senang mereka bersikap seperti itu padaku, aku menganggap mereka orang-orang yang jujur yang selalu mengekspresikan semua hal yang mereka lihat dengan apa adanya. Sikap mereka membuatku semakin sadar akan posisiku di antara mereka dan menyadarkanku dari mimpi-mimpi mulukku termasuk mimpi menjadi kekasih Duan Delon Antonio Herlino. Ia satu-satunya cowok tergantung dan terbaik dalam memori pikiranku. Cowok pertama yang membuatku mengenal arti mencintai dan mengagumi dengan tulus. Sebenarnya ia tak sekeren cowok pada umumnya tapi kebaikan hatinya membuat semua orang merasa pantas untuk mengaguminya. Aku tahu dari dulu hingga malam ini dan sampai kapan pun mimpi itu akan tetap menjadi mimpi hingga rupaku menjadi usang bersamanya dan malam itu aku terlelap dengan mimpi dan bayangnya yang terlalu setia bersamaku.
    Paginya aku terbangun oleh suara azan. Aku merasa begitu bersemangat dan bahagia setelah melaksanakan kewajibanku pagi itu aku merapikan tempat tidurku dan sedikit memaksa tubuhku melakukan hal-hal yang menghasilkan keringat. Aku membersihkan diri dan mempersiapkan diri ke kampus. Kukenakan kudungku di depan cermin sambil memandang wajahku. Kuperhatikan dengan teliti setiap pernik yang menghiasi wajahku dari jidat, kening, mata, alis hingga daguku. Tak ada yang aneh di sana hanya bentuknya saja yang kurang begitu sempurna seperti milik gadis-gadis cantik pada umumnya. Kutatap sekali lagi wajahku, ”Hum April, sebenarnya kamu tidak terlalu jelek kok, hanya orang-orang yang sok-sok menganggap dirinya cantik saja yang memvonismu jelek.” Kataku pada diriku sendiri. Aku merapikan jilbabku dan mengambil tasku yang telah kupersiapkan semalam.
“Ril, sarapan dulu baru ke kampus!” Ajak tanteku yang melihatku segera menuju keluar.
“Iya April, tidak baik kalau ke kampus dengan perut kosong.” Kata omku yang ikut mendukung tante, mengajakku sarapan.
“Om, Tante, April sarapannya nanti di kampus saja ya, soalnya April belum lapar,” tolakku dengan penjelasan panjang lebar sambil berpamitan pada mereka.
Aku pun segera keluar dan berjalan menuju kampus. Hampir setiap hari aku selalu ke kampus dengan berjalan kaki dan aku lebih suka seperti ini daripada harus naik kendaraan umum. Jarak kampus dan rumahku tidak begitu jauh dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang-orang normal di pagi harilah yang menjadi alasanku berjalan kaki. Pagi itu orang-orang ramai memenuhi jalanan, sebagian besar adalah anak-anak SD dan SMP. Ada beberapa penjual sayur dan ibu-ibu yang mengerumuninya di penggir jalan. Pagi itu jalan tak begitu ramai dengan kendaraan hanya ada satu dua buah mobil dan motor yang lewat. Aku berjalan dengan lebih santai sebab aku sengaja berangkat lebih awal hari ini. Aku terus berjalan sambil sesekali menoleh ke samping dan betapa kagetnya aku saat aku melihat seseorang yang begitu kuimpikan ada di seberang jalanku. Ia  berdiri di samping motor yang sedang diparkir dengan asal di trotoar. Aku berhenti sejenak dan merasakn degup jantungku yang mulai tak beraturan, aku merasakan keringat dingin mulai mengujur di seluruh  tubuhku dan detak jantungku semakin keras saja berdetak. Aku terus memandangnya denga siaga, takut ketahuan olehnya. Ia tidak banyak berubah, ia masih sesempurna dulu. Aku semakin merasa malu padanya dan pada mimpi-mimpiku. Aku tak sadar menunduk dan mencoba membayangkan diriku dan dirinya.  Kamu itu tidak pantas untuknya,Ril. Kata hatiku mencoba mengingatkanku. Kuangkat kepalaku perlahan dan memandangnya sekali lagi dan saat itu ia pun memandangku. Aku cepat-cepat memalingkan wajahku dan berjalan dengan tergesa. Aku merasakan wajahku memanas karena malu dan aku mengutuk diriku karenanya. Aku mencoba menenangkan hatiku dengan mengatakan ia pasti tak mengenaliku. Aku terus meyakinkan diriku  hingga  sesampainya aku di rumah. Aku merasa bahagia karena bisa mlihatnya kembali setelah bertahun-tahun tak pernah melihatnya. Banyak hal yang tak kutahu darinya saat ini, hingga penyebab mengapa ia bisa berada di seberang jalan itu pagi tadi.
Bulan berganti tahun hingga tak terasa kegiatan kuliahku segera berakhir. Aku memang dilahirkan dengan wajah catat dan tak sempurna tapi aku merasa yakin dengan otak dan hatiku yang lebih sempurna dari kepunyaan gadis-gadis cantik yang begitu mengagung-agungkan kecantikan mereka. Itu yang sering dikatakan tanteku dan sahabat-sahabat terbaikku di kampus. Waktu terus berlalu tapi tidak dengan mimpi dan bayang-bayang Delon di dalam diriku. Bayang-bayangnya seolah telah menjadi bagian dari diriku yang tak sempurna bila tanpanya walaupun aku masih tetap berusaha untuk menghapus semua mimpi dan rasa yang kian tak terbendung di dada ini. Aku merasa ia satu-satunya cowok yang pertama dan kurasa terakhir membuatku seperti ini. Rasa ini mengajarkanku tentang kesetiaan dan makna keabadian cinta, dan karenanyalah kini aku mulai belajar untuk menerimanya walaupun aku tak mungkin bisa bersamanya. Aku mulai membiarkan bayang-bayangnya terus bergelantungan di alam pikirku dan berhenti berusaha melupakannya.
Aku bersyukur Tuhan memberiku kelebihan walaupun itu aku harus memiliki rupa yang tak elok. Aku senang bisa membuat bangga tante dan ibu yang kutahu selalu ada untukku walaupun tak nyata di sampingku dengan perestasi-prestasi yang kuperoleh. Selang beberapa bulan setelah kelulusanku, aku mencoba mengikuti pengangkatan dan akupun dinyatakan lulus dan resmi menjadi salah satu pegawai negeri di salah satu sekolah menengah atas terfavorit di kota ini. Aku benar-benar bangga pada diriku sendiri dan merasa sangat beruntung. 
Malam ini, entah malam keseribu berapa aku merasa bahagia bersama bayang-bayang Delon. Aku sedang bersama tante dan beberapa teman-temannya merayakan keberhasilanku di rumah. Dan saat kami sedang duduk bersantai di ruang tengah, aku melihat om dan sepasang suami istri dan seorang cowok yang tak begitu jelas dan seorang wanita datang menghampiri kami. Aku sama sekali tak mengenali mereka kecuali wanita yang terus-menerus menatapku dengan lelehan air mata yang tak henti-hentinya di sela-sela wajahnya yang mulai dihiasi kerutan. Aku tahu, wanita itu ibuku, dia ibuku yang selama ini selalu ada dalam doa-doaku. Aku bangkit dan berlari memeluknya dengan erat. Aku mendekapkan kepalaku di bahunya dan membiarkan air mataku membasahi kain kerudungnya.
“April merindukan Ibu, April sayang sama Ibu,” Ucapku di sela-sela tangisku.
Ibu mengangkat wajahku dan hanya menatapku tanpa mampu berkata-kata.
Kuajak ibu duduk dan kupandangi semua orang di ruangan itu dengan senyum lebarku. Kau bisa merasakan betapa bahagianya ketika kau bertemu dengan seseorang yang selama ini kau rindukan. Aku tak pernah membenci ibuku sedikitpun walaupun ia telah membuangku karena kutahu ia menyayangiku.  Aku tak hentinya memandangi orang-orang di ruangan itu dan pandanganku terhenti pada satu sosok yang juga tak begitu asing bagiku. Aku mulai merasakan kembali hal yang kurasakan saat aku tiba-tiba melihat sesosok cowok yang kukenali di seberang jalan. Dia Duan Delon Antonio Herlino, lirihku dalam hati. Tapi mengapa dia ada disini dan anehnya bersama Ayah dan Ibunya dengan wajah sumringah dan begitu juga orang-orang di sekelilingku, Ibu, Tante, Om dan teman-temannya, heranku. Mungkinkah? Decak tanyaku dalam hati. Aku tak percaya mereka semua mengetahui hal yang kurasa dan menyiksaku selama bertahun-tahun ini. Aku tak pernah menceritakannya pada tante dan omku lebih-lebih pada ibu. Aku hanya sering mengadukan dan menceritakan semuanya pada Tuhan tapi mengapa mereka semua bisa tahu. Dan Delon, aku tak percaya dia akan melakukan ini semua, mengajak orangtuanya ke rumah tanteku dengan beberapa bawaan yang pernah kulihat di rumah teman ibuku saat menghadiri acara besar anaknya. Aku terus menatapnya, kini aku tak peduli dengan wajahku yang semakin memanas dan memerah dan degup jantungku yang berpacu tak karuan dan anehnya ia balik menatapku dan tersenyum manis padaku untuk pertama kalinya.
“April, Ibu tidak salah terima kan?” Tanya ibu mengagetkanku sambil memegang bahuku.
“Ya.” Jawabku keceplosan hingga membuat orang-orang di ruangan tertawa bahagia.
Aku tersenyum menunduk malu dengan sejuta tanya yang menggantung dilidahku.


0 komentar:

Posting Komentar


wYmiNoZ saRaNghaE^^ Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template for Bie Blogger Template Vector by DaPino